Tanah Aluvial Jakenan:Antara Berkah Pertanian dan Tantangan Banjir
Oleh: Shireen Widya Rakasari
Jakenan, Pati - Hamparan sawah menghijau mendominasi lanskap Jakenan, sebuah kecamatan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kesuburan tanah aluvial, hasil endapan dan pelapukan batuan, menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakatnya. Namun, di balik berkah pertanian ini, tersimpan tantangan yang tak kalah besar: banjir.
Sebagai seorang pelajar SMA Negeri 1 Jakenan yang tumbuh besar di tengah dinamika ini, saya tergerak untuk meneliti lebih dalam bagaimana karakteristik lapisan tanah memengaruhi kehidupan masyarakat di sini. Hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa lapisan tanah di Jakenan didominasi oleh lapisan B (subsoil) dan C (regolith). Tanah berwarna kuning kecoklatan ini cenderung padat, kurang subur, dan minim pori. Kondisi ini serupa dengan temuan penelitian oleh Dr. Eko Handoyo dari Universitas Diponegoro (Undip) yang meneliti karakteristik tanah aluvial di wilayah pesisir utara Jawa Tengah.
Pola Tanam dan Mata Pencaharian
Kondisi tanah ini memengaruhi pola tanam yang diterapkan petani. Saat musim hujan, padi menjadi pilihan utama, bahkan bisa ditanam dua kali setahun (MT1 dan MT2). Namun, musim kemarau memaksa petani beralih ke tanaman yang lebih tahan kering seperti kacang, atau mencoba peruntungan dengan tembakau. Pola ini selaras dengan adaptasi pertanian yang diamati oleh Gunawan Maryanto dalam artikelnya di Jurnal Agroekologi, yang menyoroti pentingnya diversifikasi tanaman di lahan marginal.
"Saat musim hujan, kami bisa panen padi dua kali. Tapi ya itu, risiko banjir selalu mengintai," ujar salah seorang petani di Desa Tambahmulyo.
Ancaman Banjir dan Eksesnya
Banjir menjadi momok menakutkan bagi petani Jakenan. Luapan air dapat merendam sawah, merobohkan tanaman padi, dan memicu serangan hama wereng. Kondisi ini diperparah oleh drainase yang kurang optimal dan kiriman air dari wilayah hulu seperti Puncakwangi. Persoalan ini bukanlah hal baru. Seperti yang diungkapkan oleh wartawan Kompas, Budi Santoso, dalam liputannya mengenai banjir di Pati tahun lalu, masalah tata ruang dan pengelolaan sumber daya air yang buruk menjadi penyebab utama bencana tersebut.
"Kalau sudah banjir, ya pasrah saja. Hasil panen bisa gagal total," keluh petani lainnya.
Perkembangan Pemukiman dan Mobilitas Generasi Muda
Pola pemukiman di Jakenan cenderung mengikuti akses jalan, transportasi, ikatan keluarga, dan ketersediaan lahan sawah. Desa-desa seperti Tambahmulyo berkembang pesat karena memiliki wilayah yang luas, lahan sawah yang subur, dan munculnya usaha-usaha baru. Bahkan, Tambahmulyo akan segera memiliki rumah sakit Bhayangkara yang menghubungkannya dengan kecamatan Winong dan Jakenan. Harga tanah pun melonjak drastis dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini sejalan dengan teori "urbanisasi agraris" yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Dewi Susilowati dari IPB University, yang menjelaskan bagaimana perkembangan wilayah pedesaan dipengaruhi oleh sektor pertanian dan migrasi penduduk.
Namun, perkembangan ini tidak serta merta membuat generasi muda terpaku pada sektor pertanian. Banyak dari mereka memilih merantau ke luar negeri, seperti Jepang dan Korea, untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Setelah sukses, mereka kembali ke kampung halaman dengan membawa modal dan mendirikan usaha seperti peternakan atau penyewaan alat berat. Tren ini mencerminkan dinamika globalisasi yang memengaruhi pilihan mata pencaharian generasi muda di pedesaan, seperti yang dianalisis oleh Sosiolog Imam Prasojo dalam berbagai tulisannya.
Adaptasi dan Mitigasi
Masyarakat Jakenan terus berupaya beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada. Mitigasi bencana banjir menjadi prioritas utama, seperti normalisasi sungai dan pembangunan tanggul. Selain itu, diversifikasi usaha di sektor pertanian dan non-pertanian juga terus didorong untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya ini sejalan dengan konsep "ketahanan pangan lokal" yang dipromosikan oleh aktivis pertanian, Kartini Samon, yang menekankan pentingnya kemandirian pangan di tingkat komunitas.
Meskipun tantangan yang dihadapi tidaklah mudah, semangat gotong royong dan kearifan lokal menjadi modal berharga bagi masyarakat Jakenan untuk terus bertahan dan berkembang di tengah dinamika alam dan zaman.
Versi Tempo yang Disempurnakan: "Jakenan: Tanah, Banjir, dan Mimpi Generasi Milenial"
Oleh: Shireen Widya Rakasari
Jakenan, Pati - Debur air sungai Sampang menghidupi sawah-sawah aluvial di Jakenan. Dua kali panen padi setahun menjadi berkah bagi para petani. Namun, siklus ini dibayangi ancaman banjir yang datang tanpa permisi. Di tengah dilema ini, generasi milenial Jakenan menyimpan mimpi-mimpi besar.
Sebagai peneliti independen sekaligus pelajar SMA Negeri 1 Jakenan, saya mencoba menelisik lebih dalam hubungan antara tanah, mata pencaharian, dan perkembangan pemukiman di kampung halaman saya. Hasilnya cukup mencengangkan. Pendekatan ini serupa dengan jurnalisme warga yang dipopulerkan oleh Tempo.co, di mana warga lokal menjadi sumber informasi utama dan memberikan perspektif yang unik.
Tanah Aluvial yang Menentukan
Karakteristik tanah aluvial di Jakenan sangat khas. Minim lapisan organik dan topsoil, didominasi lapisan subsoil dan regolith. Tanah berwarna kuning kecoklatan ini padat, kurang subur, dan rentan terhadap erosi. Kondisi ini memengaruhi pola tanam dan hasil panen petani. Ahli Geologi, Dr. Retno Kumalasari dari UGM, pernah menulis di rubrik "Opini" Tempo mengenai pentingnya pengelolaan tanah berkelanjutan untuk menjaga kesuburan lahan pertanian di Jawa.
"Dulu, tanah di sini subur sekali. Sekarang, ya lumayanlah. Asal tidak banjir saja," kata Mbah Sardi, seorang petani senior di Desa Karangjati.
Banjir: Musuh Abadi Petani
Banjir menjadi musuh abadi petani Jakenan. Luapan sungai Silugonggo dan waduk Wilalung kerap merendam sawah, menyebabkan gagal panen dan kerugian besar. Sistem drainase yang buruk dan kiriman air dari daerah hulu memperparah situasi. Redaksi Tempo pernah mengangkat isu banjir di Jawa Tengah dalam laporan investigasi mendalam yang menyoroti lemahnya koordinasi antar instansi pemerintah dalam penanganan bencana.
"Kalau sudah banjir, semua harapan hilang. Utang di bank semakin menumpuk," ujar Bu Aminah, istri seorang petani di Desa Glonggong.
Mimpi Generasi Milenial
Di tengah keterbatasan ini, generasi milenial Jakenan tidak menyerah pada keadaan. Mereka memiliki mimpi-mimpi besar untuk mengubah nasib keluarga dan kampung halaman. Merantau ke Jepang dan Korea menjadi pilihan populer. Fenomena ini mirip dengan kisah-kisah sukses diaspora Indonesia yang sering ditampilkan di rubrik "Inspirasi" Tempo, di mana anak muda Indonesia berhasil meraih impian di luar negeri.
"Di sini susah cari kerja yang bagus. Lebih baik merantau, cari modal, lalu buka usaha sendiri," kata Arif, seorang pemuda yang baru saja kembali dari Jepang.
Setelah sukses di rantau, mereka kembali ke Jakenan dengan membawa modal dan ide-ide segar. Usaha peternakan, penyewaan alat berat, dan toko modern menjadi pilihan investasi yang menjanjikan. Hal ini sejalan dengan tren "sociopreneurship" yang banyak digandrungi oleh generasi milenial, seperti yang sering dibahas dalam artikel-artikel bisnis di Tempo.
Perkembangan Pemukiman dan Gaya Hidup
Perkembangan permukiman di Jakenan juga cukup pesat. Desa Tambahmulyo menjadi pusat pertumbuhan baru dengan pembangunan rumah sakit Bhayangkara dan infrastruktur lainnya. Harga tanah pun melonjak tajam. Gaya hidup masyarakat Jakenan juga mengalami perubahan. Meski sederhana dalam konsumsi sehari-hari, mereka tidak ragu untuk berbelanja barang-barang mewah seperti sepeda motor dan mobil baru. Perubahan gaya hidup ini sering menjadi sorotan dalam rubrik "Gaya" Tempo, yang mengamati bagaimana tren konsumsi mempengaruhi masyarakat Indonesia.
Menjaga Keseimbangan
Masyarakat Jakenan terus berupaya menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, antara pertanian dan industri, antara mimpi dan kenyataan. Mitigasi bencana banjir, diversifikasi ekonomi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi kunci untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Tantangan ini membutuhkan solusi inovatif dan kolaboratif, seperti yang sering digarisbawahi oleh Tempo dalam setiap pemberitaannya.